CARI

01 June 2013

Nama di Balik Jendela

Terik siang begini selalu mengingatkanku pada sebuah mimpi, mimpi yang dulu sekali.

Pernahkah pada masa kanak kamu bermimpi tentang satu hal dan mimpi tersebut masih terekam dengan sangat jelas sampai kamu menjadi dewasa dan tua? Pada usia sembilan aku pernah bermimpi, seperti sedang melihat televisi berlayar tujuh puluh inch tanpa pengeras suara (karena pada mimpi itu aku tidak dapat mendengar suara apa pun melainkan kejadian), gadis belia dikuncir kuda bermain bersama seorang pria yang sebaya dengannya. Mereka sedang bermain sepatu roda. Lebih tepatnya, si pria sebaya sedang mengajarkan cara bermain sepatu roda kepada si gadis belia. Bukan sepatu dengan empat roda–dua roda di depan dan dua roda di belakang–tetapi sepatu roda Inline Skate yang sedang ngetrend pada masanya itu. Sepatu dengan empat roda yang tersusun pada satu baris vertikal di bawahnya.

Mereka, si gadis belia dan pria sebaya sedang bermain sepatu roda bersama, tertawa riang dan berpegangan tangan di terik siang, di lapangan komplek yang dari balik jendela kamarku terlihat sangat jelas pemandangannya.

Biasanya menjelang sore lapangan itu sering dipakai untuk bermain futsal atau sekedar tempat untuk berlari-larian anak-anak kecil dan setelah malam tiba lapangan itu digunakan sebagai lahan parkiran oleh penghuni di sebelahnya. Di lapangan itulah yang luasnya tidak lebih dari seratus lima puluh meter persegi aku bermimpi menyaksikan gadis belia dengan takut-takut tetapi bahagia berusaha menggoeskan sepatu rodanya. Sepatu istimewa yang bahkan pada mimpi pun sebenarnya dia tidak berani berharap untuk memiliki. Bahagia. Apalagi ditemani oleh seseorang yang sama bahagia dengannya saat itu. Apalagi ketika pria sebaya selalu mencoba menggodanya dengan melepaskan tangannya pada genggaman gadis belia, "Ha! aku lepas kamu", mungkin begitu katanya (aku hanya mencoba menebak percakapan mereka karena suaranya tidak terdengar). Lalu si gadis belia menjadi ketakutan dan itu malah membuat pria sebaya semakin senang karena si gadis belia akan marah-marah dan mengencangkan pegangannya. Kemudian dari ekspresinya aku dapat melihat mereka tertawa terbahak-bahak kegirangan.

Mereka kegirangan mengitari pinggiran lapangan.

Sayangnya itu hanya mimpi yang membuatku damai ketika bangun di pagi hari. Rasa damainya seperti kesegaran mata air pegunungan meresap mengalir dari kepala sampai ke kaki. Mimpi yang aku yakini bahwa esok hari aku bisa merasa sebahagia itu tidak peduli seberapa pun mendung hariku karena kecewa, dilecehkan dan diperlakukan tidak adil, langit mendung itu pasti akan kembali tergantikan dengan langit cerah seperti yang ada pada mimpi. Sayangnya aku tidak ingat siapa nama pria sebaya yang menemani gadis belia bermain sepatu roda.

Sampai saat ini, ketika terik siang begini dan aku teringat akan mimpi itu lagi, pada balik jendela yang dapat kulihat dengan jelas lapangan kecil itu sedang tersiram banyak sinar matahari. Aku masih saja mengeja-eja. Rio, Angga, atau Dewa yang telah mengajariku cara bermain sepatu roda pada usia belia? Yang telah membuatku bahagia bisa bermimpi memakai sepatu istimewa. Karena jujur saja, aku bosan berteman dengan kayu penyangga dan kursi roda.

14 comments:

  1. wah akhirnya si tokoh utama =,= serapuh itu pun dia berani bermimpi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, karena mimpi buat siapa saja. Bahkan orang yang buta sejak lahir katanya juga bermimpi, hitam-putih :)

      Delete
  2. Mimpi yang menyenangkan. :)
    Omong-omong, aku atau siapa kadang-kadang takut melakukan sesuatu di mimpi. Tapi pas sudah bangun bilang, "kenapa takut? padahal itu mimpi. Ah." Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. biasanya mimpi buruk. Kita takut buat nerusin ceritanya sampai habis, pengennya buru-buru bangun, padahal itu mimpi :D

      Delete
    2. padahal itu mimpi. hahaha.

      Delete
  3. Tulisannya bagus-bagus.

    Semangat menulis dan ngeblog.

    Salam sastra! Do'a kuat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih, dapat komentar dari master jadi terharu :)

      Salam sastra!

      Delete
  4. Aku pernah bermimpi perihal angan-angan yang dulu pernah terpikirkan. Dimana aku bisa saling berbagi dengan sahabat-sahabatku dan sampai akhirnya ketika kita sudah dewasa kita bisa membuat coffeeshop. Tapi ternyata sekarang mereka tak ada entah kemana. Dan mimpi itu hanyalah sebuah angan-angan dan sekedar wacana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. seperti cerita ini, mimpi tak harus terwujud, karena mungkin saja dia akan hadir dalam bentuk lain nanti. As we believe :D

      Delete