CARI

24 May 2013

Kotak Makan Siang

Prakata:

Saya hanya sering bertanya, apa lelaki lebih bahagia dengan punya dua, tiga atau empat pasangan dibanding setia hanya dengan satu orang? Nyatanya di sekeliling saya banyak, dan saya jadi tahu satu kenyataan bahwa saya tidak bisa lagi selalu menyalahkan nafsu lekaki akan keputusannya punya lebih dari satu pasangan. Bagaimana dengan sikap wanita yang alpa? Yang bisa jadi sumber kegalauan pasangannya sehingga ia lebih memilih jalan tenangnya kepada yang lain; sekaligus tidak bisa memutuskan komitmen karena tanggungan dan rasa iba di belakangnya. Rumit, memang. Dan karena saya wanita, yang bisa saya teriakkan hanya hal ini saja.

Cerpen ini pun dengan iseng saya ikutkan pada lomba bertajuk Perempuan Dalam Cerita yang jika terpilih ceritanya akan dibukukan, sedangkan royaltinya akan disumbangkan kepada Lembaga Pemberdayaan/Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan dan Perkosaan. Sayangnya saya tidak menang dan hanya masuk 30 besar saja. Untuk bukunya sudah bisa di dapat online disini

Lumayan kan? Teman-teman bisa dapat cerita bagus sekaligus bisa beramal. :)

***

Ayah jarang menasihati apalagi berkata-kata yang tidak perlu, maka itu aku ingat sekali ayah pernah bilang "sesulit apa pun pilihannya, jadi saja wanita baik"

  
Gambar oleh Cornelis Adiatma Wibisana

Dimanapun itu aku tidak pernah jadi seorang yang menonjol, di sekolah, di lingkungan rumah, pada kelompok belajar, di kantor, tidak juga di angkot atau bus kota. Biasa-biasa saja. Tidak pernah mendapat prestasi yang sangat menonjol ataupun melakukan kenakalan tolol. Tidak cantik yang bisa membuat orang-orang melirik pun tidak jelek sehingga mudah diejek. Tidak pula banyak teman mengelilingi apalagi sekelompok sahabat yang disebut orang geng muda-mudi masa kini. Hidupku sudah cukup penuh oleh pekerjaan-kalau dulu-belajar, sekolah, pulang ke rumah-merapikan rumah, dan membantu Ayah. Dua puluh empat jam dalam sehari, setiap hari, selalu cukup waktu untuk kulalui. Karena itu, orang sering sering lupa kehadiranku. Mungkin segan sebab aku pendiam dan tidak pandai berolahkata.

Contohnya saja hari ini, orang-orang di ruangan sudah ribut akan berangkat naik apa ke farewell party bapak manager IT yang kelompok kubikelnya ada di sebelah kami. Karena masih di satu koridor ruangan, tim general affair yang hanya berstafkan delapan orang ini, diundang semua ke perayaan. Ribut-ribut dari jam sebelas tadi masih saja belum usai. Hal yang diributkan tidak lain dari persoalan numpang kendaraan siapa, akan naik apa ke sana, atau tungu-tungguan karena ada kerjaan yang belum juga kelar, dan suara-suara lainnya yang melengkapi keriuhan isi ruangan sehingga tidak ada yang konsen pada pekerjaan. Aku malah santai-santai saja dengan monitor kerja dan tidak berkeinginan untuk ikut karena hari ini membawa bekal makan siang. Bekal buatan ayah yang sudah lebih dari spesial jika disandingkan dengan seporsi nasi restoran bintang lima. Bagiku makan itu bukan tentang berapa nikmat menunya, tapi siapa orang di balik pembuatnya. Ayah bukan koki restoran mewah, makanan yang dia buat tentu tidak senikmat itu, bila dibandingkan masakan warteg belakang gedung kantor ini saja mungkin akan kalah enaknya. Tapi apapun yang diciptakan Ayah selalu terasa spesial. Jam lima pagi tadi ayah sudah ribut-ribut di dapur, memastikan goreng telur dan tempe ini matang presisi. Tampang seriusnya sama ketika ayah mengerjakan tiang-tiang rumah yang rusak, genteng yang bocor, dan mungkin akan sama atau lebih serius lagi ketika dia bekerja dengan anak-anak buahnya, memandori gedung-gedung tinggi yang baru dibangun di tengah kota. Kesungguhan ayah dalam mengerjakan apapun selalu membuatku terharu, tapi tidak begitu dengan Ibu.

"Lis, apa kamu tidak ikut? Dari tadi kok tenang saja," suara Mbak Desita yang duduk dua meja di sebrangku membuyarkan lamunanku tentang ayah.

"Aku lagi bawa makan, kayaknya enggak dulu deh, Mbak," begitu alasan yang kuucapkan kepada Mbak Desita.

 Mbak Desita adalah sekretaris necis kami yang supel dan wangi, orang yang paling perhatian satu ruangan. Uniknya Mbak Desita, dia selalu mengenakan pakaian dan aksesori yang matching dari atas kepala sampai ujung kaki. Hari ini saja pakaian yang dia kenakan bernuansa hijau, sesegar Taman Suropati. Blazer tipis dengan blus hijau muda di baliknya, dipadukan rok putih berstrip hijau pada bagian bawahnya, dan wedges tali hijau stabilo yang dikenakan untuk mempercantik kaki sewarna dengan kuncir hijau pengikat rambut panjang lurusnya. Ajaibnya penampilan Mbak Desita tidak pernah terlihat norak, muda dan ceria. Anehnya walau sudah semenarik itu, Mbak Desita masih saja senang melajang.


Sebenarnya bisa saja aku ikut meramaikan pesta lalu hanya memesan segelas minuman ringan, tetapi aku benci berbasa-basi di keramaian. Channel youtube favorit, kotak makan siang buatan ayah, dan segelas latte hangat buatan Mas Andri, OB muda kami, sudah cukup menentramkan sekaligus meramaikan istirahat siangku hari ini.

"Wah, kamu gak ikut juga ya? Saya pikir saya sendirian siang ini," suara lelaki di balik meja dispenser mengejutkanku tiba-tiba.

"Saya harap juga begitu pak," dalam hati ku tanggapi begitu tetapi yang keluar malah, "Iya Pak, kebetulan saya bawa makan siang"

"Wah sama dong. Kalau begitu kita makan bareng saja," Jawab Pak Wayan antusias.


Kali ini aku lihat Pak Wayan jauh lebih antusias dengan bekal makan yang dia bawa karena biasanya tidak selalu bekal makan siangnya itu dimakan, seringkali ditawari kepada karyawan lainnya, atau aku, atau OB yang tidak bisa berkata tidak. Pak Wayan sering kali bosan dan memilih makan di luar bersama yang lainnya. Walau begitu, cukup diacungi jempol, Pak Wayan memiliki istri yang begitu peduli untuk memasak bekal makan siang suami dari pagi. Seberuntung aku ketika Ayah menyempatkan diri memasak di pagi buta.

Pak Wayan pindah duduk ke sebelah kubikelku agar acara makan kita tidak berjauhan. Kotak bewarna Merah itu sudah dari pagi kulihat nangkring di samping binder kerja Pak Wayan. Dari balik kubikel dapat kulihat ragam makanan yang ada di baliknya: nasi dengan lauk sayur ikan bumbu kuning dan dua potong tempe, sederhana saja, sama dengan kepunyaanku nasi goreng omelet sayur.

"Sepertinya kamu lebih menikmati bekal daripada makan di luar dengan yang lain ya?" tanya Pak Wayan di sela acara makan kami.

"Karena yang memasak, rasanya jadi spesial, Pak,"

Pak Wayan berpikir sejenak atas jawabanku, lalu tersenyum dan berkata, "Benar juga sih. Bisa saja saya bawa bekal ini keluar, tapi kalau cowok agak sungkan juga".

Atas jawaban Pak Wayan, aku jadi ingat kejadian sebelum sholat Jumat beberapa minggu lalu. Kaum lelaki seruangan pergi bersama makan keluar. Pak Wayan menawariku untuk mengambil bekal makan siangnya, setengah memaksa dia meletakkan kotak makan siang itu di mejaku dan berlalu terburu-buru untuk menyusul yang lainnya walau sudah kutolak dengan sopan dengan alasan sudah makan siang. Membuka tutupnya saja aku tidak tega apalagi mengaduk-aduk yang ada di dalamnya, membayangkan peluh istrinya yang bercucuran ketika memasak dari jam lima pagi, aku jadi tidak sanggup memakannya. Kuletakkan kembali kotak makan siang itu di samping monitor komputer, di meja Pak Wayan. Kejadian sepeti itu bukan pertama kali Pak Wayan lakukan. Keesokan harinya setelah kejadian itu, Pak Wayan telat datang ke kantor, hampir jam sebelas siang ketika kulihat dia menghidupkan komputernya. Pelipis pak Wayan lebam. Aku tidak sanggup walau cuma berpapasan dengan pak Wayan hari itu. Takut-takut kalau penyebab lebamnya itu adalah aku, aku yang sudah menolak memakan bekal makan siang pak Wayan, lalu dia dihardik istrinya lantaran itu.


Pukul empat seperempat rombongan sudah kembali lagi ke kantor. Beberapa membawa bungkusan makanan dari farewell party barusan. Ada yang sudah siap-siap akan pulang, ada yang sekadar duduk dan ngopi di pantri belakang, tidak ada yang serius melanjutkan pekerjaan kembali. Sebagian kaum wanitanya, tanpa aku dan Mbak Sekretaris, ngobrol santai di samping kubikelku. Mereka sedang membicarakan perihal bekal makan siang, “kalau bukan aku pasti soal Pak Wayan”, begitu pikirku dalam hati. Sedang Bergosip rupanya mereka. Karena teman wanitaku cuma satu-dua yang tidak pintar bergosip juga, aku selalu takjub dengan mereka dalam hal ini, kemampuan mencari dan menyebarkan informasi yang mereka miliki melebihi kemampuan detektif.

Mengenai ledekan tentang bekal makan siang, istrinya yang pemarah dan pelit, atau bajunya yang sering kali kusut, Pak Wayan selalu menanggapinya dengan santai dan tidak pernah tersinggung bahkan dijadikan bahan becandaan pelepas stres olehnya. Karena itu olokan soal Pak Wayan tidak pernah habis dipergunjingkan oleh rekan-rekannya.

"Kudengar dia habis bertengkar hebat setelah pelipisnya cedera kemarin itu, sepertinya mau cerai,"

"Seperti yang kemarin habis kita bahas itu, dua kali lho aku pergoki dia dengan Miss matching,"

Kurang jelas kutanggap, Pak Wayan atau Mbak Desita yang sedang mereka diskusikan. Ah, lagipula aku kan tidak diajak mereka diskusi, seharusnya aku tidak ikut penasaran.


Pukul empat tiga puluh semua orang sudah siap-siap akan pulang ke rumah, rupanya di luarcuaca buruk, langit kelam pertanda sebentar lagi akan hujan. Bagi yang tidak ingin terjebak hujan di kantor memanfaatkan momen ini supaya bisa diizinkan pulang lebih awal dengan atasan. Aku pulang agak malam. Setelah adzan Magrib hujan belum berhenti juga. Karena perut sudah lapar kembali kuputuskan untuk mampir dulu ke warteg belakang gedung yang letaknya bersebelahan dengan parkir motor. Indomie dan teh manis hangat nikmat betul di cuaca seperti ini.
  
Sudah beberapa motor lalu lalang menuju loket parkiran, motor-motor yang tidak sabaran menunggu gerimis habis untuk pulang. Aku jadi membayangkan Ayah, apa dia sudah sampai dan sudah makan di rumah?
  
Dari kejauhan aku seperti melihat sosok Pak Wayan, di samping motornya di parkiran, sedang mengeluarkan ponco hujannya. Aku ragu karena biasanya Pak Wayan pulang sendirian, tidak ditemani wanita berjaket dan masker hitam dan memiliki ponco yang sama bentuk dan warnanya dengan si lelaki yang kukira Pak Wayan itu. Loket parkiran tidak jauh dari tempat duduk makanku, bisa kupastikan ketika dia dan wanita tadi lewat sini nanti, apa benar itu pak Wayan yang tidak sendirian?
  
Motor sudah lewat, seharusnya aku lega ternyata benar pengendara motor Pulsar itu memang Pak Wayan, tetapi aku terpaku dengan wanita yang diboncenginya. Walau muka dan badannya tertutup ponco jelas sekali wanita bersepatu wedges tali hijau stabilo itu merangkul erat pinggang Pak Wayan. Dan yang paling jelas kulihat dari semuanya adalah cincin yang dikenakan wanita itu, emas putih berinisial 'A'. “Ah apa benar itu mereka?” Aku masih saja tercengang menebak-nebak kejadian barusan. “Jadi, benar yang dibicarakan teman-teman di ruangan tadi?” Sampai indomie di depanku sudah gendut-gendut bentuknya.


Tepat pukul tujuh aku kembali lagi ke lantai dua belas, mengambil flashdisk yang masih tercolok di komputer. Tepat sekali waktunya ketika ada dering telepon yang berbunyi. Asal bunyi itu dari balik meja Pak Wayan. Lama tidak ada yang mengangkat akhirnya suara telepon itu berhenti, tetapi berbunyi kembali ketika tepat saja ruangan akan kutinggal pergi. Ragu-ragu kuangkat, tapi sepertinya ini penting sekali sampai di telepon dua kali.

"Halo.."

"Halo!. Apa Adi ada di tempat?" Sahut suara diseberang sana yang agak terkejut.

"Adi? Pak Wayan? O, kebetulan dia sudah pulang Bu", kujawab dengan begitu spontan. "Ada pesan?"

"Ini istrinya Adi, tadi pagi saya sudah suruh orang antar kotak makan siangnya ke meja resepsionis. Awas saja dia makan di luar lagi!"

"Besok pagi akan saya sampaikan Bu. Mungkin sedang dijalan pulang"

"Oke, terima kasih," terdengar gebrakan telepon yang buru-buru, seburu-buru suara yang ada di seberangnya.
  
Baru kali ini aku dengar suara istri Pak Wayan langsung, telepon yang kuangkat barusan membuatku susah berpikir tentang hal yang baik-baik akan ketiga orang itu. Seharusnya aku memang lebih banyak berbaur dengan yang lain dan peka terhadap keadaan sekitar. Kupikir sikapku selama ini sudah cukup baik, tapi malah membuat dunia sepuluh langkah jauhnya ada di belakangku. Dunia yang ada di balik jurang sehingga pada sebuah nama saja harus kulihat melalui teropong. Nama panjang Pak Wayan, Adi Wayan Susno, tertulis diatas name tag disamping telepon yang barusan kuangkat.


Aku masih duduk di bangku kerjaku, masih saja mengingat-ingat kejadian di parkiran tadi. Soal sepatu hijau stabilo, soal cincin berinisial A, soal lebam pak Wayan, soal kotak makan siang. Aku masih saja menerka-nerka dengan ngeri dari mana muaranya hal seperti itu ada? Hal yang sebenarnya dekat dengan hidupku. Hal mengenai Ayah dan Ibu.

Aku jadi teringat lagi pesan ayah, "sesulit apa pun pilihannya jadi saja wanita baik."

6 comments:

  1. Jadilah wanita yang baik? kriterianya apa yak?? hehe

    saya sudah follow blog mbak, ditunggu follbacknya!! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih sudah follow :)
      menurut saya tak ada kriteria, tapi hati nurani pasti bisa bedakan mana baik mana tidak *sotoy* :p

      Delete
  2. Cerpen yang bagu, Prie. Kangen rasanya baca cerpen. Sumpah deh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga kangennya terobati ya, Vi. Makasih! *peluk*

      Delete
  3. Saya suka cerita ini, sebenarnya ceritanya biasanya aja tapi kemasannya itu lho yang wah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Ben. Kurang ngerti maksudnya kemasan gimana ya? :D

      Delete