CARI

13 July 2013

Segelas Teh Manis Hangat

Prakata:

Berita musibah longsornya PT. Freeport di tanah Papua adalah bukan yang sekali. Mungkin, harus hancur dulu semuanya baru kita mengerti bahwa sudah kehilangan banyak. Ada mata indah lelaki kecil berseragam putih merah yang saya tatapi dan kagumi, duduk di hadapan saya, di dalam angkutan umum menuju rumah. Dari penampilannya saya bisa tebak bahwa lelaki kecil ini berdarah Papua atau Indonesia timur sekitarnya. Bola matanya saya kagumi seperti berlian; berlian yang membuat mata semua orang ingin menguasai dengan cara apapun termasuk jika harus mencongkelnya sampai mati. Lalu supir taksi bertopi seniman mirip Pak Sapardi Djoko yang saya tumpangi seminggu lalu bercerita mengenai branding, sumber daya sampai ke koperasi Indonesia. Menarik. Betapa angkutan umum selalu punya banyak cerita.



***

Headline utama surat kabar:
Selasa Pagi, 14 Mei 2013.



Dia menggapai-gapai tangan saya lalu menggenggamnya. Jempolnya menindih jempol saya, telunjuknya menindih telunjuk saya, begitu seterusnya sampai ke kelingking. Kemudian mereka, jemari kami, saling mencari celah; saling mengaitkan.

“Rasanya hangat,” begitu akunya pertama kali. Padahal tangan kami sudah seringkali saling berpagutan.

“Iya, tanganmu memang hangat” timpal saya sederhana.

“Aku belum tahu ternyata tanganku hangat begini, yah?”

“Itu karena tanganku yang dingin”, dia masih saja mencari topik-topik perbincangan ringan, sedangkan saya masih saja kikuk untuk memulai perbincangan penting ini.

Perbincangan yang sedikit serius. Atau perbincangan serius. Agaknya sama, sering kali membuat kikuk kaum lelaki. Dia, wanita kecil yang ada di samping saya malah asyik sendiri bermain dengan tangan-tangan kami. Dia, memang sudah tahu apa yang seharusnya saya utarakan sekarang, bersikap demikian pasti agar saya bisa sedikit lebih tenang dan mengurangi kecanggungan.

“Kamu tahu gak, aku gak pernah merasa begitu cantik sebelumnya.” Akunya lagi.

“Pasti karena semua orang bilang pacarmu begitu jelek.” Saya agak tersindir sih, sedikit.

“Bukan! Tapi karena aku dibikin merasa begitu penting artinya buat seseorang. Lagian.., Beauty and The Beast yang pernah kamu ceritakan, dongeng cinta yang happy ending, kan?”

“Setelah dia berubah menjadi pangeran.” Saya menegaskannya karena The Beast masih bisa menjadi tampan. Sedangkan saya...? 

“Kamu juga sudah membuat aku seperti putri dengan tidak perlu memutihkan kulit atau mengenakan jubah dan menunggang kuda poni. Hehehe” Katanya sambil memeluk lengan kanan saya.

“Seharusnya kita ke warung saja. Aku mau minum teh manis hangat buatan kamu, daripada sebulan ke depan pasti rasanya..., jadi...”

“Eh! Kamu tahu gak kenapa teh buatan aku bisa enak begitu? Itu ada rahasianya loh, kalau kata Kolonel Sanders penemu ayam KFC: SE-CRET RE-CIIIPE

Belum habis bicara saya tetapi dia sudah memotongnya dengan pertanyaan yang membuat monyong bibirnya karena pengucapan bahasa inggris yang terbata-bata. Menggemaskan. Itu juga alasan saya senang mengajarkannya bahasa Inggris, selain mimiknya yang lucu juga untuk membuat dia paham percakapan bule yang sering datang mencicipi makanan di warungnya.

“Apa resepnya?” Tanya saya penasaran. Saya jadi teringat, karena teh hangat itulah kami bisa sedekat sekarang.
         
Jalan Malioboro, awal maret tahun 2009. Perkumpulan mahasiswa kami yang disingkat dengan IPMAMI UGM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Mimika Universitas Gajah Mada) mengadakan bakti sosial dengan menyelenggarakan pertunjukan seni jalanan dan tari-tarian daerah. Biasanya acara seni untuk menggalang dana buat saudara-saudara kami di Papua rutin kami adakan setiap empat bulan sekali sehabis ujian semester. Sayangnya, hari ini gerimis lebat, akhirnya acara kami tunda sampai cuaca membaik kembali.

Saya merasa kedinginan, saya putuskan untuk mencari minuman penghangat badan. Syukur di jalan ini banyak angkringan enak. Makanan murah seharga seribu-dua ribu rupiah yang pas dengan kantong mahasiswa daerah seperti saya. Angkringan yang paling dekat letaknya di samping Malioboro Mall. “Segelas teh manis seharga seribu, enak juga nih. Cukuplah uang di kantong celana yang hanya tinggal tiga ribu saja,” begitu pikir saya menghampiri gerobak besar berisi banyak variasi makanan yang di depan dan samping kirinya dilengkapi dengan tempat duduk kayu panjang itu.

Dibantu dengan Ibunya, ada gadis manis berkulit putih melayani pembeli, “pasti dia bukan orang Jogja asli.” Pikir saya sembarangan. Hanya ada dua orang wanita yang melayani pembeli angkringan ini, dua orang yang sama cekatannya. Membakar sate pesanan, mengaduk teh yang mau dihidangkan, mengembalikan uang pembeli dengan senyuman. Pemandangan mereka mengalihkan rasa dingin di badan. Dan acara tari yang seharusnya saya bantu untuk memegang dan menawarkan kotak amal untuk diisi uang oleh pelancong yang lewat (berhubung saya tidak pandai menari jadi hanya kebagian tugas ini) menjadi terlupakan.

Keduanya sama cantik. Tetapi anak gadisnya, amboiii! Menarik perhatian. Saya jadi dibuat betah duduk-duduk, berlama-lama mengunyah sambil dengan tidak sadar tersenyum sepanjang melihat wajahnya, si gadis bertubuh kecil ini. Ah…, persetan cerita-cerita picisan cinta pada pandangan pertama dan buku-buku romantis sejenisnya. Yang saya alami ini jauh jauh lebih manis pokoknya.

“Astaga! Sudah berapa banyak yang saya kunyah ini?” kaget saya dalam hati. Akhirnya gerimis yang berhenti membuat saya sadar punya kewajiban. Dan yang lebih membahayakannya lagi, saya tidak membawa cukup uang!

“Berapa semuanya, dek?”Tanya saya prihatin.

Dia memandang wajah saya untuk pertama kali dengan bola mata besarnya itu, saya merasa seperti dipelototi. “Nasi tempe sebungkus, gorengannya dua, sate ati juga dua, emm…, sama teh manis hangatnya. Jadi semuanya, enam ribu rupiah, kak.” Akhirya dia selesai menghitung semua makanan yang saya makan. Dan saya kembali cemas.


“Jadi, SE-CRET RE-CIIIPE yang enak dari teh poci buatanku adalah …”


Saya pura-pura merogoh celana, mencari sisa uang. “Wahh… Begini, dek. Ternyata saya lupa membawa uang. Saya Berjanji saya akan kembali lagi besok. Bagaimana? Ini hanya tiga ribu rupiah dan kartu pelajar saya gadaikan. Besok saya kembali lagi. Sungguh.” Dengan memelas saya memohon.

"Saya tidak bisa menjanjikan kembali lagi malam ini untuk membawa sisa uang yang kurang kepada kamu. Saya tidak enak dengan teman-teman bila mangkir acara kembali.” Dia hanya mengangguk-angguk tanda setuju dengan wajah bingung atau karena takut melihat penampilan saya yang tidak seperti pelajar sungguhan. Kulit kami memang hitam, bertampang seram, orang banyak bilang kalau kami cocok jadi preman. Saya paham.

Sore esoknya saya kembali, membawa sisa hutang kemarin malam dan mengambil kartu pelajar yang saya gadaikan. Lalu, ada ritual yang sama setiap menjelang malam di samping Mall Malioboro. Saya menyeruput segelas teh manis hangat spesial.


“Pertama-tama, panasin air sampai mendidih. Sambil menunggu air mendidihnya tidak terlalu panas, siram teko tempat kita akan menaruh air teh dengan air panas. Makanya wadah yang bagus itu sebaiknya terbuat dari kaca atau alumunium, karena kalau wadahnya plastik nanti warna kecoklatan tehnya akan menempel. Setelah tekonya jadi panas, tuang teh lalu air mendidih yang sudah agak didiamkan sebentar tadi kedalamnya. Sebaiknya sih emang jangan disiram langsung dengan air yang baru mendidih dari kompor, soalnya akan merusak bau tehnya. Kalau sudah dituang semua bersama dengan gulanya, aduk-aduk searah jarum jam sampai wanginya keluar. Hummm! Dan terakhir…, tutup tekonya agar wangi tehnya tertahan di dalam.” Begitu penjelasan panjang lebarnya mengenai demo membuat teh poci enak.

“Ya Tuhan…, bila membuat teh begitu rumitnya, saya rela membayar dua ribu rupiah seumur hidup.” Timpal saya agak dramatis.

Tidak hanya pandai membuat teh, Ida, gadis yang tidak rela saya tinggali sendiri ini juga pandai membuat kue dan menjahit. Siang hari dia menerima pesanan jahitan membantu Ibunya memenuhi kebutuhan harian. Malamnya, kalau tidak kelelahan, dia membantu Ibunya di angkringan. Dan setiap minggu pagi, dia menjajakan kue buatan sendiri di bazaar parkiran kampus.

Setelah kematian ayahnya, gadis sunda itu menetap hidup di Jogja. Berbekal pengetahuan teman Ibunya yang orang Jogja asli berdagang angkringan.


“Kata Ibuk, anak cewek harus bisa menghasilkan sendiri, karena aku tidak punya bapak.” Begitu katanya suatu hari pada sela-sela obrolan kami.

“Bapakku juga mati tertimbun tanah tapi Mama di Timika tidak pernah menyuruh saya untuk bisa membuat kue.” Balas saya dengan tidak kalah menyedihkannya tidak punya seorang ayah yang bisa diciumi tangannya ketika akan berangkat ke sekolah. Dan dia menjadi tertawa mendengarnya. Anak manis yang pintar yang harus putus sekolah. Sedangkan saya lebih beruntung, masih ada beasiswa ganti rugi tempat almarhum Papa bekerja yang mengucur setiap tiga bulan untuk keperluan biaya kuliah.


“Pulanglah, kak. Walau aku mau kamu terus berjuang di sini. Terbanglah ke tanah lain jika tanah yang kamu tempati sekarang sekarang justru membuatmu mati pelan-pelan.” Akhirnya, justru kata-kata yang keluar dari mulutnya yang dari tadi tidak bisa saya ucapkan, untuk sekadar berpamitan pulang ke kampung halaman.
         
Beasiswa dari tempat bekerja almarhum Papa dicopot tiba-tiba. Dengan alasan pendidikan saya sudah sampai delapan semester, padahal saya tahu mereka sedang mencari-cari alasan untuk mengikat saya menjadi pekerja mereka, seperti Papa. Mereka akan tetap memberi saya uang setiap tiga bulan dengan syarat ikatan dinas perusahaan. Tetapi saya tidak mau menjadi seperti Papa. Walaupun teman-teman menyayangkan keputusan saya untuk tidak menerima tawaran mereka, perusahaan tambang besar yang siapa orang tidak kenal namanya. Mereka bilang saya munafik dan terlalu idealis. Mereka bilang saya tidak seperti mahasiswa ekonomi lainnya yang berprinsip "dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapat untung yang sebesar-besarnya". Saya, hanya tidak ingin menjadi seperti Papa yang digadaikan negaranya.

Tinggal satu semester lagi untuk saya menyelesikan penelitian ini. Saya harus berjuang kemana lagi disaat semua bantuan belum bisa sangat menolong? Jalan keluar yang paling baik adalah saya pulang, ke Papua, untuk berdiskusi dengan Mama. Makin cepat semakin baik. Walau keputusannya nanti, saya harus tinggal menetap di sana. Saya terus berharap yang terbaik, untuk saya dan untuk Ida.

“Mau kemana?” Tanya saya kepada Ida yang kelihatannya akan bergegas, kemudian berdiri ke hadapan saya, menatap lekat-lekat mata saya dengan kedua bola mata besarnya yang hangat.

“Kak, aku pulang dulu. Aku tinggalin kamu sebentar disini. Aku tunggu kamu untuk memintaku mengaduk segelas teh manis hangat spesial lagi.” Setelah memeluk erat pinggang saya, Ida berlalu pulang tanpa pernah menengok kebelakang.


*Dua bulan kemudian.

Dek Ida.

Kuberi tahu sesuatu, tanggal 12 Juli adalah hari ulang tahun koperasi Indonesia. Aku harap surat ini sampai tepat tanggal 12 Juli. Karena aku akan menerima surat yang sama menyenangkannya tepat pada tanggal itu.

Beasiswa di tempat Papa tidak ada harapan, aku melepaskannya. Aku tidak ingin dijadikan barang dagangan oleh calo-calo berseragam kekuningan yang duduk di balik gedung mewah, yang dengan bangga mereka sebut diri mereka sebagai abdi Negara. Nyatanya, mereka malah menjual tanah dan saudara mereka sendiri pada pihak asing demi perut kenyang semalam, dan kami semakin kelaparan. Mereka lebih cocok kusebut calo: perpanjangan tangan orang-orang yang ‘berkepentingan’.

Seperti yang sudah pernah kubilang, aku pasti berjuang walau mungkin hasilnya tidak menyenangkan. Aku sudah berjuang. Dan perjuanganku di sini tidak dengan hasil yang sia-sia. Aku bergabung dengan NGO (Non Government Organization) di Papua. Orang-orang yang sepaham dengan mauku ternyata masih banyak. Yang masih mencintai tanah mereka melebihi rasa laparnya. Tetapi, ada harga yang harus kubayar, dek. Aku harus belajar lebih giat lagi ke Inggris selama dua tahun untuk menyerap semua ilmu ekonomi koperasi di sana. Aku akan berangkat bulan depan.


Aku bahagia cita-citaku tidak berbelok terlalu jauh. Semoga kamu sama bahagia juga mendengarnya. Kami semua yang tergabung di sini akan menjadi penebar benih-benih koperasi kecil di setiap daerah, dan bukan hanya di Papua. Kami semua akan melawan segala macam bunga menyesatkan yang makin menyengsarakan usaha saudara-saudara kami.

Dek, aku ingin banyak orang-orang yang seperti kamu menjadi termudahkan. Yang bisa bergantung dan bertahan hidup pada usaha dan keterampilan kecilnya daripada harus mengemis atau menjadi calo di gedung mewah.

Sesudah kamu membaca surat ini, kurasa kamu harus membeli banyak teh bubuk karena aku akan menagih segelas teh manis hangat spesial buatan kamu. Dua hari lagi.


Salam rindu,

Tatena

6 comments:

  1. Kren nih cerpennya,... sempat trenyuh juga bacanya,.... q suka,.... q yunggu posting selanjutnya,.... owh iya,.. kapan2 semapatin tengok blog q juga ya
    http://sakclick.blogspot.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih sudah dibaca :D
      segera meluncur ke blognya!

      Delete
  2. Cerpen penuh edukasi. Nice story ^^b

    ReplyDelete
  3. ah tatena beruntung kali kau bisa pergi ke inggris sana.:D

    ReplyDelete