CARI

21 November 2013

Sofa Merah Beledu

Ketika usiaku muda dulu, aku pernah mencari ujung pelangi. Aku penasaran seperti apa ujung pelangi itu? Pelangi yang datang setelah hujan. Hujan yang kubenci dulu karena adanya dia meniadakan anak-anak yang ingin bermain bola di lapangan. Kemudian, lengkung bewarna-warni itu muncul amat dramatis dari balik jendela kamarku. Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu. Indah! Munculnya ketujuh warna yang tersusun rapi, setelah hujan meniadakan acara bermain bolakusehingga kerjaku hanya tersurut saja di dalam kamarseakan berkata, "lihat! Aku adalah sesuatu yang muncul dari hal yang kamu benci." Karena kejadian itulah, aku bercita-cita untuk mencari ujung pelangi.

Kamu, pernah lihat ujung pelangi?

Kurasa rasa penasaranku ini tidak salah karena hampir setiap orang yang kutanya tidak pernah melihat ujung pelangi.

Dalam perjalananku mencari ujung pelangi itu, aku menemukan sebuah lubang besar yang seperti jurang, sangat lebar dan panjang. Saking panjangnya, hulu dan hilir lubang itu tidak kelihatan. Ujung pelangi yang aku cari masuk ke dalam lubang tersebut. Lubang lebar dan panjang yang kalau kita melihat ke dalam dasarnya hanya nampak kabut-kabut putih. Aku namakan Lubang itu, Lubang pelangi.

Aku terjun ke dalam lubang pelangi dengan pelangi.

Ternyata ada satu kota di dalamnya, aku sebut kota pelangi. Sedang ujung pelangi yang aku cari-cari? Tertancap masuk sampai ke dalam tanah. Kota pelangi tidak lebih indah dari ketujuh warna pelangi, rumah-rumah masyarakatnya kecil-kecil, seperti rumah Igloo orang Es Kimo, hanya saja atap rumahnya bewarna-warni. Masing-masing rumah ditempati oleh keluarga yang berisi Ayah-Ibu dan anak wanita atau lelaki yang belum terlampau dewasa. Karena ternyata wanita yang sudah dewasa (di sana setelah usia dua puluh lima sudah dikatakan dewasa) harus bisa hidup di dalam rumahnya sendiri sampai ada seorang lelaki yang datang dan diizinkan tinggal di dalam rumahnya, menetap, dan hidup bersama lalu memiliki anak. Jika anak mereka wanita, maka ketika usia dua puluh lima anak itu harus pergi dari rumah orang tuanya dan membuat rumahnya sendiri, lalu menunggu lelaki yang mau dan diizinkan tinggal bersamanya. Begitulah siklusnya. Bisa dikatakan di kota pelangi yang memiliki rumah adalah wanita dewasa. Sedang lelakinya hanya perlu mengunjungi wanita lalu menetap saja di dalam rumahnya. Hanya ada dua asal lelaki di kota pelangi, yang pertama adalah lelaki yang datang dari atas jurang sepertiku, yang kedua adalah lelaki yang dilahirkan tumbuh besar di kota pelangi.

 Masyarakat kota pelangi hidup rukun.

Aku tidak pernah berniat untuk hidup atau tinggal menetap di kota pelangi, karena niat awalku hanya ingin melihat ujung pelangi, yang ternyata tertanam jauh ke dalam tanah. Aku sudah pasrah, tidak mungkin aku menggali ujung pelangi sampai ke dasar bumi. Pada beberapa minggu yang telah kulewatkan di kota pelangi karena belum tahu bagaimana caranya kembali pulang, aku mengamati satu rumah unik. Sebenarnya cerita tentang rumah unik ini sudah sering kudongengkan kepada kerabat yang haus cerita atau kepada anak-anak yang mudah percaya. Saat ini ada baiknya kutuliskan saja. Semakin tua umur semakin sedikit ingatan yang bisa diandalkan, sedang ingatan tentang rumah unik milik wanita bernama Cantik yang telah berusia dua puluh lima, sayang sekali jika sampai banyak yang tidak bisa kuingat.

Cantik memiliki rumah beratap putih yang kontras dengan atap bewarna-warni milik masyarakat kota pelangi lainnya. Ruang tamunya yang kecil hanya berisi dua buah kursi di dalamnya. Satu kursi untuk tamu dan satu kursi untuk dia duduki. Maka dari itu dia hanya bisa menerima satu orang tamu saja. Jika kebetulan ada tamu lain yang ingin masuk, dengan sangat terpaksa tamu itu harus sabar menunggu di luar sampai tamu yang berada di dalam rumah sudah kehabisan kepentingan. Yang menarik dari rumah Cantik adalah sofanya. Ya, sofa merah beludu yang selalu didudukinya. Jika sedang tidak ada tamu, yang dia lakukan adalah membersihkan bulu-bulu lembut sofa kesanyangannya itu. Satu sofa untuk tamu ditempatkan berhadapan sofa merah beludu.

Tamu-tamu yang sering datang ke rumahnya kebanyakan adalah lelaki. Maklum, dia masih sendiri. Dari yang masih kecil sampai yang sudah uzur, dari penduduk asli kota pelangi sampai pendatang tersesat sepertiku, dari yang hanya menghabiskan waktu luang dengan bertamu sampai yang berniat untuk menetap tinggal di dalam rumah bersamanya.

***

Bobi adalah anak berusia lima yang sering datang ke rumah Cantik. Bobi hanya ingin bermain saja. Bermain dengan teman sebaya itu membosankan, begitu alasannya jika ditanya kemana teman bermainnya? Karena masih kecil, Bobi tidak peduli bagaimana perasaan orang dewasa terhadapnya. Walau Cantik sudah letih menemaninya bermain, Bobi tidak peduli. Yang penting buatnya adalah selalu ada orang yang bisa menemaninya bermain kuda-kudaan, membantunya mengikatkan tali sepatu yang tidak pernah bisa dia lakukan, dan membelikannya bertoples kue cokelat kering atau balon bewarna-warni. Setelah sore dan merasa bosan, Bobi pulang ke rumah orang tuanya, meninggalkan Cantik sendirian yang sudah kewalahan. Tentu saja Cantik tidak tega untuk tidak acuh kepada Bobi yang masih kecil, lugu dan menggemaskan. "Ah, anak kecil."

Ada juga pemuda Punk berkulit putih yang datang dari atas jurang. Dia seringkali membuat Cantik merasa terpukau dengan hadiah-hadiah yang dibawanya. "Ini namanya bunga kembang sepatu, bunga cantik ini kupetik hanya untukmu!" Lalu keesokan harinya dia membawa berkotak-kotak cokelat yang sangat lezat dan manis, "Ini namanya cokelat Toblerone, kubeli hanya untukmu!" Keesokan harinya lagi dia membawa gaun-gaun nan seksi, "lihatlah gaun indah yang akan membuat tubuhmu terlihat semakin indah, hanya untukmu!" Karena penasaran, aku memerhatikan pria Punk itu lagi pada minggu berikutnya. "Lihat! Aku membawa kondom. Kalau ini untukku!" Ternyata hari itu adalah hari terakhirku melihat pemuda Punk di kota pelangi. Setelah kejadian pemuda Punk yang tidak lagi memberi Cantik hadiah melainkan sesuatu yang hanya untuk dirinya sendiri, aku tidak lagi melihatnya. Mungkin Cantik hanya berharap hadiah-hadiahnya saja, bukan kunjungan atau kehadirannya. Sejak hari itu, tidak ada lagi pemuda yang datang bertamu ke rumah Cantik membawa berbagai macam hadiah.

Pria necis yang agak dewasa dengan sabuk tebal di pinggangnya rutin mengunjungi Cantik di pagi hari. Dia adalah guru di desa pelangi. Mendatangi Cantik sepuluh menit sebelum jam belajar dimulai. Orangnya pendiam, sedikit tertutup dan amat sopan. Tidak banyak hal yang dibicarakan oleh pria necis dan Cantik di dalam rumahnya. Sehingga mereka berdua sering kali hanya duduk berhadapan tanpa melakukan apa-apa: Cantik duduk saja di atas sofa merah beludunya, pria necis duduk dihadapannya sambil mengelap keringat di jidat dan berharap waktu sepuluh menit tadi tidak berlalu cepat. Nyatanya waktu sepuluh menit tadi amatlah singkat dan membuatnya selalu terburu-buru agar tidak terlambat. Terburu-buru datang, terburu-buru berpamitan, terburu-buru pergi, sedangkan waktu yang mereka habiskan untuk berbicara satu sama lain adalah lambat-lambat. "Hai bagaimana perasaanmu hari ini?" Dua minggu lamanya aku menunggu, akhirnya aku mendengar kata-kata serius yang keluar dari mulut si guru necis itu kepada Cantik. Dua minggu penantian dan hanya kalimat yang bagiku tidak terlalu penting diucapkannya saat semua orang di kota pelangi sudah tahu bahwa guru necis itu sudah menetap tinggal dengan wanita dua puluh lima lain kemarin sore, tetangga Cantik.

Selain aku yang sesekali mengunjungi Cantik untuk berbagi kisah bagaimana orang-orang di atas lubang pelangi menjalani kehidupannya, sambil menjelaskan benda-benda yang kubawa dari rumah. Bagi Cantik ketapel dan kelereng yang baru dilihatnya pertama kali adalah benda yang lucu. Ada juga paman Jim yang sesekali mengunjungi Cantik untuk mampir sebentar dan duduk-duduk menanyakan kabar. "Bagaimana kabarmu hari ini, Cantik?" Atau, "apakah harimu menyenangkan?" Atau paman Jim akan menenteng sekantung makanan berlebihan yang dimasak oleh istrinya, "hai Cantik, makan ini agar badanmu tidak kurus kering."

***

Bagaimana nasib Cantik setelah aku meninggalkan kota pelangi? Aku tidak tahu. Yang aku tahu dia telah mengecat atap rumahnya menjadi warna merah jambu sehari sebelum aku pergi menuju atas lubang. Mungkin saja dia sudah beranak lima dengan pemuda bergaya Punk. Atau hidup bahagia dengan pria necis bersabuk tebal. Atau membuat taman kanak-kanak untuk Bobi dan teman sebayanya. Atau.

Atau.

Masihkah dia menunggu seseorang seperti, yang menyuruhnya menggeser kursi kesayangannya, sofa merah beludu, untuk berada dekat di sampingnya. "Mari geser sofamu di samping kursiku. Akan kutunjukkan sesuatu yang lucu."

2 comments:

  1. gw tau nasib si cantik selanjutnya, dia merantau ke kota trus bikin girl band
    ujungnya pelang ada di dalam hati mu apri... Eeaa...

    ReplyDelete
  2. masish bingung kota pelangi itu apa mbak -__-

    ReplyDelete