CARI

12 November 2012

Perkara Bayi

Perkara Bayi
image from http://handprintsoul.files.wordpress.com/2011/11/a-fire-inside.jpg


Saat. Dumai, 3 September 2010.

Jarum jam tangan sudah maju dua angka, tapi tidak juga ada hadirnya. Menunggu di perempatan pasar seperti ini terasa dua kali sialnya. Panas sesak karena banyak orang dan bau kuli. Pukul dua belas siang semua orang turun ke pasar, kebanyakan peternak itik atau ayam dan juga tukang kuli bangunan. Tahulah kamu bagaimana bau kuli? Bau kulit yang jarang mandi, gersang dan terkapar sinar matahari. Mereka turun ke pasar terik siang begini untuk makan atau sekedar minum kopi. Berkelakarlah mereka dan para tukang itik, mengeluhi hidup dan menyumpahi ketidakadilan pemerintah atas harga beras yang terus naik. Persis seperti orang-orang yang kurang pendidikannya. Kalau tidak ada bahan untuk di sumpahi maka mereka akan menyumpahi teman sendiri yang terlihat lucu atau kurang wibawanya. Maka tertawa terbahak-bahaklah mereka melihat teman sendiri begitu jengkelnya diledeki. Belum lagi tanah yang jarang kering akibat buangan air cucian ayam dan isi perut ikan yang di lempar sekenanya ke selokan di pinggir perempatan. Beruntungnya saya tidak pernah diajak beramah-tamah dengan para tukang atau mamak-mamak itu, karena akan pening kepala mendengar banyak mulut bicara hanya pada soal kurang beras untuk makan, kurang uang untuk biaya sekolah, dan hal-hal kurang yang itu-itu saja. Bertambah pening kepala karena Opi juga tidak muncul batang hidungnya. Kalau bukan karena dia sering kemari menjajakan kertas gadai kepada pensiunan yang sering lalu lalang saat jam makan siang, tak mungkinlah saya menunggu di tempat seperti ini. Kalau bukan karena dia gadis paling manis di desa, sudah saya acuhi dia. Saya buat menderita. Patah hati pada pria yang paling tidak bau kuli di desa. Cukuplah gadis-gadis berusia remaja yang ranum tubuhnya sering merongrong, merayu murah, agar dapat sekedar menumpang naik motor besar saya ini ke pasar. Entah berpapasan di jalan atau sengaja sudah menunggu saya di depan rumah, gadis-gadis itu tanpa tahu malu meminta menumpang. "emak ku suruh cari ayam bang, numpanglah saya sebentar naik kudamu itu ke depan", begitu alasan si gadis-gadis ranum. Lalu si Opi? Sudah dua minggu lebih tidak ada kabarnya di telepon sulit, pesanpun tidak dibalas. Ah, perkara apalagi ini?

***
Hujan menumpahi hampir seluruh desa. Dumai, 12 Desember 2010.

Duduknya Saat tidak berubah dari sejak pagi, bersender pada sofa pendek di belakang tembok menghadap jendela di rumah kontrakan khusus pria lantai dua. Kesepian tidak bisa dipungkirinya, yang tidak dia sadari ternyata dia tidak benar-benar mengenal Opi, siapa Ayahnya, siapa Ibunya, bagaimana masa kecilnya, dan mengapa tidak pernah dia dibawa ke rumah untuk diperkenalkan kepada neneknya. Ironisnya, hanya Opi teman bicara selama ini. Saat memang pria dengan sedikit pongah. Wajar, mengingat latar belakang keluarganya yang tinggi. Ayah Saat memiliki berhektar-hektar kebon kelapa sawit yang sangat berharap anak lelaki satu-satunya bekerja mewarisi keahliannya dan menikah dengan anak kepala desa, memudahkan dia mengurus semua perizinan penggarapan tanah. Ibunya seorang yang sederhana, anak teknisi tanah yang kebetulan pernah bekerja pada kebon sawit milik orang tua bapaknya. Masa kecil Saat dekat dengan kakek dari Ibunya. Diceritakannya semua penjelajahan yang pernah dia lakukan sewaktu bekerja dulu, laut, padang pasir, hutan belantara, mendongengkan pada bocah kecil itu petualangan seribu satu malamnya. Setelah besar, kaburlah Saat menjeleng subuh, minta ijin kepada Ibunya untuk pergi dari semua harapan Bapak. Ibunya mengijini, "Pergilah kau sampai tidak tercium baunya dan kembalilah kau sampai baumu sudah sama dengan Bapakmu."

Tiga bungkus rokok sudah habis sampai sore ini, belum lagi botol minuman yang berceceran di lantai. Efek minuman dan asap rokok  yang menyelubungi seluruh isi ruangan membuat penat kepala yang ada disana. Saat hanya sendiri, pikirannya melayang-layang. Opi menghilang. Tiga bulan tidak ada kabar berita kehadiran dia di desa, di pasar. Tak satupun ada orang yang tahu. Ada yang bilang dia kawin dengan juragan itik kampung sebelah, sudah dia tengok kesana namanya saja tidak ada. Ada pula yang bilang dia bekerja sebagai sekretaris Bos di kota. Saat tidak percaya karena Opi menghindari kota, gadis itu pernah mengatakan sebelumnya bahwa di kota hanya ada gemerlap. Membuat kegugupannya meningkat dua kali lipat. Semua gaya orang disana yang ingin cepat-cepat memicu sifat mudah paniknya meningkat, membuat stres cepat kumat. Maka Opi pindah ke desa, mengunjungi nenek dengan dua cucu yang dititipkan kepadanya. Menetap.

Aku ingat betul kenangan akan percakapan terakhir mereka di kedai kopi milik mak Inah pagi itu.
"Dek, ingatkah kamu negeri Hongkong yang pernah abang ceritakan kemarin itu, yang gedungnya menyala sampai pagi, yang sungainya dilewati sampan-sampan mewah di malam hari."
"Yang wanita-wanitanya rela mengantri panjang pada toko tas seharga ratusan juta?" ingat Opi.
"Ya, lucu bukan. Kita hanya lihat wanita mengantri saat anaknya imunisasi disini", Saat menambahkan.
Sementara dari depan kedai terlihat lelaki berteriak memanggil minta dihampiri barang dagangannya. Opi tersenyum dan menyela "Atau saat bang Hasan membawa kuali baru untuk dikreditkan".
"Betul!." Saat tertawa menyetujui.  "Dan oh ya si Heri sudah akan sampai pula kesana jadi ABK kapten Totoli".

Opi tiba-tiba terdiam mendengar kalimat terakhir Saat, dia hanya sanggup bertanya-tanya dalam hati bukankah harusnya Saat yang berangkat dengan Totoli dua minggu lagi. Saat, adalah ABK kesayangan yang paling mengerti masalah mesin berat kapal.
"Lalu akan kamu buat apa disini enam bulan kedepan?"
Berpikir pada jawaban membuat Saat terdiam sejenak.
"Bang Totoli tidak bisa mengulurkan jangkarnya lebih lama. Anak buah Bapak mengabarkan kepadaku kalau mamak sedang sakit, sewaktu-waktu mungkin dia butuh aku menjenguk, jadi lebih baik tinggal saja disini dahulu. Kamu tidakkah juga butuh aku disini?"
Gadis dengan lesung pipi yang dua tahun lebih tau darinya itu hanya tersenyum getir lalu menyeruput teh hangatnya.
"Bukankah kamu sudah tahu bang. Aku hanya butuh bayi."

Senyum seperti itu yang selalu dicari Saat sejak pagi, pipi yang tidak tahan ingin dicubitinya setiap hari. Melihat adegan ini siapapun juga iri, bahkan aku. Saat mencubit pipi Opi dan dibalasnya dengan pukulan manja atau gigitan mesra. Mak Inah jadi penonton setia mereka saja sedari tadi.
"Sudahlah Saat kau nikahi saja si Opi tu, sudah kebelet kawin rupanya dia. Hei Opi, disini hanya tinggal kau saja perawan tuanya cepat-cepatlah jika kau ingin punya bayi".
Mulut mamak-mamak itu memang sudah rusak saringannya.
"Hei mak, bukan cuma menari-nari di ranjang saja kerja kita menikah tu. Tak kau lihatlah betapa sedikitnya pria disini yang tidak mengijinkan istrinya bernodakan kuali. Pegal-pegal badan kau tu kan menanak nasi untuk ku makan".
Kedua wanita itu lalu tertawa renyah saja, malu kalau-kalau ada tukang kuli atau mamak-mamak lainnya yang mungkin akan menimpali.


***
Opi. Shenzhen, 23 November 2010

"Bang, hati-hati dijalan".
Ku tatap matanya lambat-lambat saat itu, karena malam-malam berikutnya sudah pasti tidak dapat ku lihat. Dia hanya mengangguk lalu melaju setelah mengantarkanku pulang. Punggungnya yang kurindukan setiap malam menjadi hilang diujung jalan.

"Paspornya sudah ku dapat, aku berangkat besok pagi nek".
Orang tua itu hanya memelukku tanpa berkata-kata, persis seperti yang dia lakukan ketika aku pertama kali tiba ke desa untuk menumpang tinggal.
"Jangan kau pernah tangisi pada apa-apa yang memang bukan milikmu".
Hanya itu saja kata si nek, tidak banyak. Punggung nek melemas saat ku balas pelukannya.

Punggung-punggung yang sering ku ingat.

Dua bulan lebih aku menetap di kota shenzhen, kota yang paling modern sedunia. Karena tak banyak kota yang ku singgahi jadi ini yang paling bagus diantaranya. Hongkong yang pernah di ceritakan seseorang padaku tidak jauh beda dari gambarannya. Semua orang disana dan disini, super sibuk, air mukanya lurus sama, jalannya cepat-cepat, dan apa yang dipikir mereka sepertinya hanya satu, bagaimana mendapat uang untuk hidup besok, membeli tas, mobil, apartemen dan kebahagian. Dan kebanyakan dari mereka tidak merepotkan hal-hal kecil seperti di desa. Tidak ada wanita yang pergi mengantri beli kuali atau duduk di kursi plastik menunggu antrian agar anaknya bisa di imunisasi. Di kota ini semuanya orang muda, bahkan bosku masih usia kepala tiga dan belum beristri. Gedung-gedung amatlah bagus disini, bangunan tinggi-tinggi pencakar langit dengan kaca warna-warni dan berbagai bentuk unik yang tidak hanya lurus saja. Kira-kira usia bangunan yang paling tua hanya tiga puluh tahun, sama seperti orang-orangnya. Semua jalanannya tertata sangat rapi, persis seperti jalanan di bundaran HI kota Jakarta tetapi dengan sedikit macet. Teman kerjaku bilang kota ini adalah distrik khusus yang baru dibangun pemerintahannya untuk bisnis, maka dari itu semua orang disini adalah pendatang muda. Kerjaku sama menyenangkannya dengan jalan-jalan dan taman-taman yang ada disini. Dibayar untuk sesuatu yang menyenangkan, bukankah itu anugrah. Anugrah kedua adalah aku menemukan apa yang kucari selama ini. Aku. Walau malam-malam terasa lebih sunyi dan yang hanya bisa kulakukan agar cepat tertidur adalah menyurati nenek di desa, mak Inah untuk kopi cina yang akan di jualnya. dan Saat. Dan, hanya sesekali yang benar-benar ku kirim, sisanya adalah setumpuk kertas pengantar lelap.

Teman tidurku hari ini lebih hangat, panjangnya kira-kira dua puluh baris saja.

Fajar disini tidak sedingin dan sesejuk fajar di desa, tetapi sangat cerah. Tidak sebising fajar di desa dengan gauman adzan subuh dan teriakan bang Hasan, tetapi sangat hening. Ingatkah kamu waktu menceritakan tentang kota dimana wanitanya rela mengantri ratusan juta?. Pantas saja, orang disini di gaji empat puluh juta. Lalu ingatkah kamu atas keinginanku yang merepotkan tentang bayi, kutemukan disini. Mereka satu-satunya yang membuat gerakku menjadi lambat, dan ketika ku sadar ternyata waktu sudah bekerja dengan sangat cepat. Lalu pada akhir bulan aku dibayar sepuluh juta rupiah atas kerjaku yang baik karena sudah mengajarkan mereka bernyanyi dan membuat boneka kecil dari lilin berwarna-warni. Persis seperti yang kamu lakukan saat menyentuh mesin-mesin bang Totoli, saat tiga hari kamu tidak pulang dan ku kira kamu tenggelam di lautan, lalu kamu datang dan tersenyum riang mengatakan, alarm kapal sudah benar dek.
Bang, disini juga ada pelabuhan, lebih rapih dari yang ada di desa, tapi aku sangsi kamu akan lebih suka.
Bang, Ibuku orang Hokian ayahku asli pribumi, itu mengapa mereka lari dari kenyataan akan cibiran orang-orang, juga nenekku dulu. Bahasa disini bukan hal yang sulit untukku, ku ajari sekali nanti dan kamu bisa lihat betapa pintarnya aku tidak hanya pada soal menyanyi.
Bang, punggungmu itu kurindui, sayangnya yang paling ku ingat adalah yang terlihat samar-samar ketika terakhir kamu mengantar pulang.
Bang, apabila kita digariskan untuk saling menemukan, engkau dan aku akan berjumpa pada senja yang sama, senja dimana kamu menjulurkan tangan kepadaku dan menyebut namamu dengan lantang.
***


Cerpen ini niatnya akan saya ikut sertakan pada antalogi cerita cinta, dengan 3 sudut pandang.
Namun ditinggalkan deadline dan terpentok jumlah halaman. Buat saya, menuliskan cerita cinta
dua kali lebih sulit daripada menuliskan cerita lainnya.*sigh*

4 comments:

  1. Izin nyimak dulu sis,,,
    perlu pemghayatan kayaknya bacanya :D

    ReplyDelete
  2. sedihhh endingnya... :D
    Saya suka membaca cerpen, tapi tidak terlalu pandai menilai hehe
    tulisan mbak aprie bagus runtut, tapi ada satu yang buat saya bingung sudut pandang pencerita ini sudut pandang orang pertama atau orang kedua serba tau?
    saya juga tidak begitu paham tapi tokoh utamanya kadang menjadi aku kemudian tiba-tiba diceritakan jadi '-nya'...

    semoga menjadi penulis terkenal :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks for reading! :D

      Ada tiga sudut pandang berbeda pada masing-masing jeda. Mungkin agak berlebihan sih dalam cerpen yang tidak begitu panjang. Akhirnya saya edit dengan memberikan sedikit keterangan tempat, biar gak terlalu absurd hehe..

      Wah doanya, terimakasih

      Delete
    2. oh.. saya jarang terbaca kalau cerpen di dalam ada tiga sudut panadang, berarti tulisan yang kayak gini tergolong unik :D

      Delete