CARI

11 May 2012

Menari

Last edit by @KlubBuku untuk hasil yang lebih baik bisa dilihat di klubbuku.com
-------------------------------------------------------------------------------------


Pernahkah kamu menari? Aku pernah.

Malam ini terasa tidak seperti malam biasanya lebih gelap, lembab dan dingin. Mungkin karena tidak ada sinar bulan yang menembus hutan sampai ke tanah, atau mungkin karena aku sudah kelelahan menunggu. Menungguku lebih lama dari biasanya hari ini. Karena berharap kehadirannya tertangkap oleh mata, ku mohon sebentar saja engkau muncul, bayangan pun tidak apa-apa. Setidaknya aku bisa pulang dengan lega. Ternyata tetap tidak ada. Aku tak akan menyerah akan sosok dirimu, ku coba lagi esok hari.
                                                                        ****
Ku beri tahu sesuatu, rasa ingin tahu akan mengalahkan rasa takut terhadap hal yang paling mengerikan. Dan tidak ada hal yang lebih mengerikan daripada murkanya orang itu. Orang yang dingin, tinggi besar, dan ahli pedang. Dia bisa menebas batang pohon dalam sekali libas, membunuh babi hutan dalam sekali tebas. Kau bisa lihat sendiri nanti.


Sebagai pengganti telat pulang ke kampung hari ini telah aku persiapkan bahan makanan dan hasil buruan yang lebih banyak, sebagai alasan mengapa aku bisa lebih lama pulang karena menunggu. Telah kusiapkan karung besar berisi buah-buahan, dan sedikit hewan sungai. Hari ini sepertinya dewa keberuntungan sedang bersahabat, karena beruntung sekali akhirnya ku temukan hewan tanah berduri ini. Lauk yang paling lezat di suku kami. Larinya cepat, kalau bertemu orang dia langsung masuk kedalam tanah paling dalam, mereka yang jago berburu saja suka kewalahan dibuatnya. Kalau musim kemarau tiba sehingga semua pohon menggugurkan buahnya dan tidak banyak hewan berkeliaran, orang-orang di kampung kami bisa kelaparan, anak bayi banyak mati jika tepat lahir di musim kemarau karena sang ibu yang tidak banyak makan tidak mengeluarkan air susunya, dan makanan yang ada kebanyakan sudah habis oleh mereka dewasa yang masih hidup.

Beruntungnya aku, disaat telat pulang seperti ini adalah musim penghujan. Dewa langit sedang senang-senangnya menurunkan air, tetapi hawa jadi lebih dingin karena sinar matahari atau bulan tidak ada yang dapat menembus hutan. Hutan di sini terlampau lebat dan lembab, masih jauh dari tangan mesin raksasa penghancur pohon yang pernah ku lihat jauh di seberang jurang. Mesin raksasa itu tidak berani datang ke kampung kami, mereka takut. Pernah ku dengar suku kami disebutnya kanibal. Karena ada salah satu dari mereka yang kedapatan menebang pohon di area kami, dua hari kemudian mayatnya sudah mengambang di hulu sungai dengan tebasan pedang di leher.

Sampai di kampung hari sudah malam benar, semua orang bersiap untuk tidur. Dengan cepat-cepat ku masuk ke rumah kayu dan sambil lalu ku letakkan semua hasil karung buruan di depan tungku. Dan pergi berlalu begitu saja, pergi ke bilik lalu tidur tanpa menghiraukan sumpah serapah orang itu, Orang yang ku ceritakan tadi, orang yang ku sebut Ayah. Asal kamu tahu semua yang disebut ayah di kampung ini kejam. Hanya ada beberapa kaum lelaki di sini, dan karena populasi mereka yang sedikit itu membuat kaum adam disini menjadi pongah, sombong dan sadis. Dan begitulah cara yang mereka pilih untuk dihormati oleh anak dan istri. Tetapi aku tidak, aku anak lelaki tetapi tidak seperti itu, mungkin karena perawakanku yang lebih kecil dari yang lain. Mungkin karena itu pula aku tidak memiliki seorang teman pun. Anak lelaki sebaya seusiaku sudah pandai berburu, memanjat, berlari tapi tidak dengan aku. Mengasingkan diri lebih baik daripada mendengar hinaan mereka ataupun melihat tampang ketidak terimaan ayahku.

Kematian anggota keluarga bukan hal berarti di sini. Karena hal itu juga membuat semua anak bekerja keras. Harga mereka setara dengan bahan makan yang mereka bawa pulang. Tak terbayang bukan bagaimana nasib kita jika tidak ada hasil buruan. Karena lemah berarti mati. Ya mungkin begitulah hukum alam, hukum untuk orang-orang penghuni hutan seperti kami. Pernah sekali waktu hampir tak ada sesuatu untuk dibawa pulang, nasibku sedang sial. Hanya sedikit buah-buahan kecil dan itu ahirnya dimakan beberapa buah karena kehabisan tenaga menyusuri hutan lebih ke dalam. Tak usah tahu bagaimana aku setelah sampai ke kampung waktu itu. Mungkin mati, hampir mati. Bantuan ibu hanya membersihkan luka, membetulkan raga agar masih terlihat seperti manusia.

Lari dari sini bukan solusi karena tak ada ujung yang kau temukan dan tak ada jalan kembali.

                                                                        ****
Hanya malam tempat bersandar lelah. Senyap, syahdu dan suara-suara hutan terdengar sekali-sekali. Suara-suara merdu yang samar-samar itu menurut anak-anak seumurku adalah suara hantu hutan. Hantu hutan adalah hantu anak yang berusaha kabur dari kampung ini, tidak bisa kembali lalu mati. Menurut anak-anak seusiaku yang jago berburu itu, hantu hutan mengerikan. Lebih mengerikan daripada mati ketika dipukuli katanya, maka itu tidak ada aktivitas malam di hutan.
Menurutku itu malah mengasyikan. Hingga saat itu ku putuskan saja pergi ke hutan dan berdiam lebih malam sedikit, berharap bertemu hantu hutan. Hanya ingin bertanya, apakah mati dan menjadi sepertimu bisa lebih bahagia?.

                                                                        ****
Sudah dua purnama terlewat, kesabaran menunggu belum juga ada hasilnya. Pikirku mungkin saja mereka bohong, agar tidak ada anak yang lari dari kelompok di malam hari. Tetapi harapan itu lebih besar daripada kenyataan. Harapan untuk hidup bebas dari kenistaan dan keterasingan. Harapan untuk hidup ku yang telah lama mati ini.

Nekat saja, hari ini aku tidak akan pulang sampai dia, si hantu hutan benar-benar terlihat. Matipun tidak apa, lagipula aku pernah merasakan mati sekali.

Dinginnya malam semakin sesak, menusuk-nusuk hingga ke rongga tulang, menghilangkan setengah kesadaran. Sudah lama sekali aku menunggu, sepertinya ini hampir pagi. Apa aku sudah mati? Pikirku. Tapi belum, hantu hutan itu belum muncul. Yang ada hanya bunyi air, gemericik tetapi beraturan. Penasaran dimana ada air? Danau atau sungai terdekat masih dua bukit lagi jaraknya. Mungkin itu bunyi bulir embun yang jatuh setetes-setetes mengenai tungkai pohon sehingga membentuk irama rapi. Mungkin saja. Ku cari asalnya air, tidak ketemu.

Yang ada hanya sesosok kecil, tak lebih tinggi dariku, cantik, kurus, tegap namun gemulai, tegas namun teduh. Matanya adalah segalanya, terlihat sangat bersinar di gelap mala mini, lebih jernih dari bulan purnama penuh. Dia tidak berbicara tetapi aku mendengarnya. Dia berbicara dengan matanya dan aku mendengar dengan hati, bukan telinga. Berdiri digenangan air itu sambil melompat-lompat kecil, genit sekali. Melompat-lompat indah namun pelan, mungkin takut ada yang dengar. Sesekali meliuk-liukan badan, memejamkan mata lalu tertawa kecil. Dan dia hanya bertanya kepadaku. Pernahkah kamu menari?

No comments:

Post a Comment