CARI

04 September 2014

Panggil Airi Saja

Pertunjukan malam ini berakhir lebih lama. Biasanya tepat pukul sepuluh atau pukul sepuluh lewat lima tirai hitam panjang sudah mulai disibakkan, panggung kembali terang, dan lampu-lampu dinyalakan, pertanda pertunjukkan di teater kecil ini sudah selesai. Pukul sepuluh adalah waktu yang tidak terlalu suram jika aku harus pulang sendirian dengan angkutan umum. Sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima belas. “Terima kasih, semua! Ini lagu terakhir yang kami mainkan.” vokalis band baru saja berkata demikian.

Sepuluh lewat tiga puluh akhirnya penonton keluar berbondong-bondong melalui satu-satunya pintu kecil bertuliskan exit di sudut kanan seberang panggung. Karena terlalu ngeri pulang sendiri, kuputuskan akan pulang dengan taxi. Ah… Momen ini tidak terencana, harusnya taxi bisa langsung kudapat tanpa menunggu. Kalau saja tadi sore aku sudah memesan taksi di loket tiket yang disediakan panitia.

Dan di sinilah aku sekarang: duduk menunggu taxi kosong yang mungkin lewat sambil menatap iri penonton lain yang sudah lebih dulu pulang dengan taxi atau dengan kendaraan pribadi. Kendaraan terakhir keluar menuju gerbang, taxi putih yang sedang menunggu penumpangnya. Ternyata penumpangnya adalah nenek. Nenek yang pada pertunjukan tadi duduk di barisan paling depan menghadap tepat ke panggung. Kupikir dia adalah salah satu panitia atau orang teater ini, pada setiap pertunjukan yang sudah kutonton pasti ada dia. Dan akan segera kuketahui bahwa nenek tua yang agak gempal ini hanya salah satu penonton setia pertunjukan teater. Teater yang kebetulan dekat dengan kantorku.

Nenek itu berjalan dengan tongkat bantu, kaki sebelah kanannya sudah tidak bisa ditapakkan. Nenek tua dengan cepol rambut dan pakaian sederhana yang selalu mengepal sapu tangan biru dongker, untuk sesekali dia usapkan di bawah matanya.

“Saya mau pulang ke Depok. Ayo! Yang mau numpang dengan saya boleh turun di mana saja.” Si nenek yang untuk tersenyum saja sepertinya perlu mengeluarkan banyak tenaga menawari taxinya untuk ditumpangi kepadaku dan kepada orang-orang yang nasibnya kira-kira sama sepertiku – menunggu di depan gerbang di samping pos satpam. Aku tahu diri, tidak mungkin aku menumpang sampai ke Kemang kemudian dia harus memutar taxinya kembali ke arah Depok. Singkatnya tidak ada yang menumpang taxinya, orang-orang yang bernasib sama sepertiku memilih jalan pulangnya sendiri. Dengan senyum ramah dan sopan kutolak tawaran nenek tua itu.

***

Setelah kelahiran cucu pertamanya, Yily tidak lagi bersusah payah mencari alasan mengunjungi kediaman anaknya. Yily dan Nana bukan ibu dan anak yang hangat. Yily terbiasa melakukan segalanya sendiri. Yily adalah Ibu rumah tangga yang sibuk dengan karirnya, jarang menggendong anaknya apalagi sekedar mengajak bicara lucu khas ibu-ibu kepada balitanya. Sedang Nana, wanita pendiam dengan miskin ekspresi. Keduanya tidak tahu bagaimana caranya memeluk satu sama lain. Yily dan Nana tumbuh menjadi Ibu dan anak dengan kecanggunangan masing-masing. Setelah Nana menikah, meninggalkan rumah ibunya, dan melahirkan anak wanita yang manis, keadaan Yily dan Nana mulai menghangat. Yily sudah tidak lagi bekerja, dan Nana tentu saja membutuhkan orang terdekat untuk mengasuh anaknya.

Jika Nana dan suaminya tidak bisa menjemput atau menemani Airi ke sana ke mari, maka Yily dengan senang hati menjemput dan menemani cucu kesayangannya. Ke sekolah, ke tempat les tarinya, ke rumah teman belajarnya, Yily dengan setiaseperti tidak ada pekerjaan lain yang lebih utama daripada bertemu dengan cucunya—menemani Airi ke mana-mana.

Airi terlahir sempurna. Gadis manis dengan kedua lesung yang menghiasi pipi ketika tersenyum, sangat ceria, persis ayahnya. Airi menggemari tari, terlebih lagi ballet.

“Ninik… Liat tutu baruku! Cantik, ya?” pamernya sambil menyodorkan kotak sepatu baru berisi tutu berwarna merah jambu dengan tali-tali cantiknya yang berjuntaian. Dan kemudian Yily akan membantu Airi menggunakan tutu barunya dan menyuruhnya memeragakan gerakan balet yang didepajari kemarin hari di sanggar.


Sore itu adalah latihan gladi bersih terakhir pertunjukan bertajuk “Ballet for Kids” yang akan tayang dua minggu lagi di teater kecil di samping sanggar Airi. Untuk pertama kalinya Airi turut tampil diatas panggung, oleh karena itu ayahnya menghadiahkan Airi tutu istimewa kemarin. Hari belum jam lima, gladi bersih itu berakhir lebih cepat daripada jadwal biasa Airi latihan ballet. Yily masih di Rumah Sakit pada pukul itu, memeriksakan kakinya yang sering nyeri kambuh-kambuhan. Sedang kedua orang tua Airi masih di kantor pada pukul empat. Airi menunggu dengan tabah Ninik yang akan menjemputnya di depan pintu gerbang komplek teater. Angin tiba-tiba bergerak kencang, awan berubah menghitam menandakan akan hujan. Jakarta rata diguyur hujan. Jika kamu tinggal di Jakarta, tidak perlu lagi kugambarkan bagaimana kondisi jalan raya ketika hujan pada pukul lima sore.

Sejam berlalu, Airi tidak juga melihat juga sosok neneknya. Sedangkan Yily masih terjebak macet panjang untuk menjemput cucu kesayangan, “semoga Airi sabar menunggu.” Doa Yily di dalam taxi. Tetapi hujan dan jalanan tidak terlihat akan menyurutkan kearoganannya. Yily sampai di tempat tiga jam kemudian.

Airi tidak ada di gerbang atau dimanapun tempat biasa dia menunggu Yily datang. Yang ada hanya kerumunan orang dan Mobil CRV hitam yang dipakirkan di depan pos satpam. Yily menghampiri. Mencoba menjawab pertanyaan, ke mana Airi?

“Ada apa ini?” Tanya Yily dalam hati.

“Awas Buk! hati-hati nyebrangnya, licin. Tadi aja ada anak kecil yang kepeleset jatoh terus ketabrak mobil. Mobil itu, tu!” Tunjuk pria asing kepada mobil CRV yang menepi di depan pos satpam.

Kepala Yily kemudian gelap.

Airi tidak bisa diselamatkan, luka dalamnya terlalu berat untuk usia anak. Tidak hanya kepalanya, sekarang semua pandangan Yily adalah gelap gulita. Cucu satu-satunya yang membawa keceriaan dan warna pada kehidupan ibu dan anak itu telah lenyap. Hidupnya begitu singkat untuk membayar dosa pelukan Yily kepada Nana. Sekarang, apalagi yang tersisa? Pikirnya mungkin ikut mati saja. Airi telah telah tiada.

***

Hari ini pertunjukkan terakhir rupanya, pantas saja teater membludak. Banyak remaja dan hipster gothic datang berkunjung. Aku sih selalu tidak pernah kehabisan kursi. Teater ini masih tetanggaan dengan kantorku. Lupa, ya, sudah kuceritakan sebelumnya?

Kulihat lagi nenek yang tiga hari lalu menawariku taxi sedang mengamati lukisan dan foto-foto besar berukuran 1x1 meter pada koridor taman di samping toilet. Salah satunya adalah foto pertunjukkan balet anak kecil. Aku ingat, aku pernah melihatnya, foto itu berjudul “Ballet for kids 2003”. Harusnya sudah delapan tahun lebih foto itu terpajang, dan sudah delapan menit lebih pula foto itu dipandang oleh nenek-nenek bertongkat pada tangan kanannya.

Sambil merokok di taman, persis di belakang koridor, aku curi perhatian kepada sosok nenek itu, sambil juga mengecek selebaran jadwal yang terpampang. Bintang tamu hari ini adalah Sarasvati and Band dari Bandung. Ah… namanya saja baru kudengar. Tetapi untungnya setiap pertunjukan di teater ini selalu tidak pernah mengecewakan. Band unik apalagi ini?

“Kamu datang sendiri?” Tegur nenek tiba-tiba. Aku terkejut takut kalau-kalau dia merasa sedari tadi aku perhatikan.

“Iya, sendiri Bu. Selalu sendiri kalau ke sini.” Jawabku melengkapi.

“Saya juga selalu sendiri kalau ke sini, menengok cucu.”

Aku mengangguk ramah menimpali perkataannya, walau timbul pertanyaan dalam hati, di mana cucunya?


Layar sudah terpasang, panggung gelap sempurna, dan lampu-lampu sedari tadi memang sudah dipadamkan. Maka tampilah sekarang Sarasvati and Band. Dibuka oleh denting piano yang kelam dan datar ‘ting.. ting.. ting..’ serta suara rekaman anak-anak kecil yang sedang bermain. Sayup-sayup pada suara rekaman itu terdengar suara desahan wanita yang agak horror menurutku. Kemudian rekaman berhenti. Musik diam. Lalu datanglah segerombolan orang dengan jubah hitam dan tudung kepala memenuhi kursi-kursi alat musik pada panggung itu. Lagu pertama dimulai.

Setelah lagu pertama dimulai, MC segera memperkenalkan personil band. Dari perbincangan mereka, kita semua tahu bahwa ternyata sang vokalis memiliki bakat unik, yaitu bisa bercakap-cakap dengan makhluk gaib. Hantu kita menyebutnya. Dan entah mengapa kengerian yang mereka tunjukkan berenergi positif, tidak kelam dan menyeramkan, tidak seseram ketika aku menonton ‘The Conjuring’ sendirian pada jam dua belas malam. Ini adalah pengalaman menonton pertunjukan yang menyenangkan.

Sambil bercakap-cakap kepada penonton sang vokalis berkata, “biasanya teman-teman kecilku akan datang. Mereka senang sekali dengan pertunjukan. Ada yang duduk di sana, ada yang duduk di sebelah sana juga.” tunjuk-tunjuk sang vokalis sembarangan ke tempat teman-teman gaibnya duduk. Lalu penonton akan tertawa-tawa ngeri membayangkan ada mahluk gaib duduk di sebelahnya.

“Tapi ada satu anak favoritku, dia bernama…”

Jelas sekali kudengar nenek yang duduk gelisah sedari tadi menggumamkan sebuah nama.

“Panggil Airi saja. Panggil Airi. Saya mohon… Panggil Airi!“ pintanya lirih-lirih sambil menyapu kedua air mata dengan sapu tangan biru dongker miliknya.

“… Peter” panggil si vokalis dan lagu berikutnya dimainkan.


*cerita ini dan cerita-cerita lainnya yang jauh lebih baik ada dalam buku kumpulan cerpen Antologi Rindu

2 comments:

  1. Membaca tulisan ini selalu mengingatkanku dengan malam itu.. :')

    ReplyDelete